background

Wednesday, December 8, 2010

Belajar Sabar

Pagi hari ini aku buka hari dengan wajah kusut. Karena saudara kembarku sendiri, yang bernama Arin Kartika, memasang lagu dengan kencang hingga semua orang di rumahku terbangun, dan tak jarang juga ia membuatku marah setiap pagi.  Arin dan aku berumur 17 tahun. Kita berdua sungguh berbeda baik dari fisik, maupun  sifat. Sifat kita berbeda jauh, Arin yang suka mendengarkan musik, suka bercanda, dan tidak suka membaca buku bisa menjadi seorang saudara kembar yang kutu buku dan cenderung pendiam yaitu aku, Karin Kartika.
Setelah sarapan, ibu berkata kepada kami berdua bahwa besok keponakanku akan datang ke rumah dan menginap selama 3 hari 2 malam untuk mengisi masa liburannya. Wajar, soalnya rumahku berada di daerah wisata, yaitu dekat Pantai Kuta di Bali. Aku tak bisa membayangkan betapa repotnya aku kalau ada 2 pengacau di rumah ini. Belum lagi kedua orang tuaku yang harus ke Jakarta untuk urusan pekerjaannya. Namun ibuku berpesan agar semuanya dibawa enteng aja, dan tidak usah dipikirkan. Namun, di dalam hatiku berkata, “Gimana mau tenang kalo di rumah ini ada 2 orang pengacau.”
Malam ini keponakanku tiba di Bandara Ngurah Rai Bali. Tepat seperti dugaanku keponakanku jauh lebih nakal dari Arin. Dia masih berumur 12 tahun tapi sudah seperti anak yang bengal. Senyum saja tidak, gimana nantinya. Tapi kalau menurutku dia orangnya cukup berani untuk naik pesawat malam sendirian tanpa orang tuanya. Malam inipun orang tuaku berangkat ke Jakarta setelah menjemput Aslan, keponakanku. Dan aku merasa tambah pusing.
Ketika perjalanan pulang ke rumahku, suasana di dalam mobil sangatlah sepi, Arin sedang mendengarkan musik kesayangannya, Aslan hanya terbengong melihat pemandangan. Jika aku bertanya pada Aslan dia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya atau mangangguk-ngangguk. Dan sepanjang perjalanan itu ia hanya mengatakan “dingin” wajarlah malam ini jauh lebih dingin dari hari kemarin . dan begitu sampai di rumah kita langsung menuju kamar masing-masing untuk tidur.
Keesokan harinya seperti biasa Arin memasang lagu dengan keras hingga membuatku jengkel. Namun begitu aku bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar, ternyata Arin sama Aslan bersekongkol untuk menyetel lagu itu keras-keras untuk membangunkanku. Aku hanya terdiam dan terbengong-bengong, rupanya mereka berdua mempunyai karakter yang sama, jadi wajar kalau mereka cepat akrab.
Setelah kami sarapan, aku mengajak Aslan untuk berkeliling Pantai Kuta. Aslan tersenyum bahagia atau mungkin dia tersenyum licik untuk mengerjaiku. Namun sesampainya di Pantai Kuta, Aslan melempariku dengan pasir dan membuatku marah, tapi Aslan dan Arin terlihat bahagia saat itu. “Aneh” tuturku. Aku membaca buku di pinggiran pantai sambil mengawasi Arin dan Aslan yang sedang berselancar.  Arin memang pandai berselancar, ia mengajari teknik berselancar kepada Aslan. Mereka seperti kakak dan adik, dan aku senang kalau Arin jauh dariku karena tak akan ada yang menggangguku setiap pagi lagi. Dan tak terasa matahari sudah mencapai atas kepalaku. Setelah itu kami pulang sebentar untuk mandi, berganti baju dan bersiap-siap untuk ke Uluwatu, tempat di mana ada banyak kera di sana.
Sesampainya di sana, kami tak membawa banyak makanan karena memang tidak boleh membawa makanan terutama kacang ke dalam area. Tapi walaupun sudah diberitahu berkali-kali Aslan tetap membawa makanan yang cukup banyak ke dalam area, akibatnya, dia dikejar-kejar kera sampai ia menangis. Akhirnya dia melempar makanan itu. Kita tertawa terbahak-bahak termasuk Aslan yang awalnya menangis menjadi tertawa. Dan tidak tahu kenapa rasanya di Uluwatu ini kami lebih akrab dari sebelumnya dan lebih kompak, aku juga sudah mulai bisa berbaur dengan mereka. Namun, tak terasa hari sudah mulai larut, tapi sebelum kita pulang, kita pergi ke Tanah Lot terlebih dahulu untuk melihat sunset. Setelah melihat sunset di Tanah Lot, dalam hatiku berkata, “ I think it’s the best day ever that i’ve ever met.”
Pagi harinya, Arin dan Aslan memasang lagu keras-keras lagi. Tapi entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dan tanpa terasa kakiku malangkah ke ruang keluarga di mana Arin dan Aslan menyetel lagu. Dan aku ikut menari mengikuti irama lagu bersama mereka. Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Segera bergegas kami bersiap-siap untuk pergi ke Nusa Dua tempat untuk berolahraga air. Sesampainya di sana kami langsung mencoba permainan banana boat. Arin tidak ikut dalam permainan ini karena takut. Aku senang karena si pengacau yang pertama ini tidak ikut, karena kalau ikut mungkin bisa heboh banget dan bikin malu aku. Setelah menaiki banana boat, kami berniat untuk mengajak Arin diving. Tapi tiba-tiba Arin menghilang entah kemana. Biarpun dia menjengkelkan tapi dia saudara kembarku, mungkin karena ada ikatan batin yang mengikat antara aku dan Arin. Aku merasa gelisah, dan tak lama kemudian aku melihat Arin sedang mengobrol bersama orang asing yang tampan di pinggiran pantai sambil minum air kelapa. Kami berduapun marah kepada Arin karena kita susah-susah mencari dia, tapi dia malah asyik mengobrol bersama orang asing itu. Tapi aku belajar untuk memaafkan orang, dan menjadi orang yang tidak mudah marah. Dan aku berhasil memaafkannya dan ikut mengobrol dengan orang asing itu hingga sore. Sebelum kita pulang ke rumah, kami pergi ke Pantai Sanur sebentar untuk melihat sunset. Setelah itu kami pulang ke rumah dan kita harus pergi tidur secepatnya karena esok pagi kita harus pergi ke Pura Besakih tempat di mana pusatnya kehidupan Hindu di Bali.
Keesokannya, setelah kami sarapan, kita langsung pergi ke Pura Besakih namun sebelum kita berangkat, aku dan Arin membantu Aslan membereskan barang-barangnya. Karena malam harinya Aslan harus kembali ke Jakarta. Maka sebisa mungkin kita membuat hari ini menjadi hari yang tak akan terlupakan oleh Aslan.
Sesampainya di Pura Besakih, kami langsung mengunjungi pura itu satu persatu. Ketika berada di salah satu pura, aku mendengar suara “GEDEBUG”. Rupanya Aslan terjatuh dari tangga hingga lututnya berdarah. Aku segera mangambil obat dari dalam mobil sambil tertawa membayangkan jatuhnya Aslan. Sesampainya di tempat kejadian aku hanya melihat Aslan yang sedang merintih kesakitan karena jatuh tadi. Hanya saja aku tidak melihat Arin saat itu. Kata Aslan Arin pergi mengikuti pemandu wisata,walaupun Aslan telah memanggilnya dengan keras. Wajar saja dia tidak dengar, orang Arin sedang memakai headphonenya. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu Arin di dalam mobil. Tak lama kemudian Arin sampai di mobil, dan berkata ”dari mana saja kalian? Aku cari-cari gak ada”. “kamu sendiri ke mana? Tadi itu Aslan jatuh, kamu sih pake headphone segala jadinya ketika Aslan memanggilmu kamu gak denger.” Balasku dengan nada meninggi. Setelah itu Arin terdiam dan meminta maaf kepada kami semua dan berjanji tidak akan memakain headphone nya terlalu sering. Setelah itu kemi bergegas untuk menuju bandara Ngurah Rai.
Setibanya di sana, aku merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan Aslan, dan aku merasa setelah ini pasti rumah akan terlihat sangat sepi tanpa dia. Walaupun awalnya ia sangat menjengkelkan, tapi kehadirannya memberi aku pelajaran yang banyak tentang menahan rasa marahku. Dan ini saatnya, kita harus berpisah dengannya. Dia harus segera check in karena sebentar lagi pesawatnya akan berangkat. Arin terlihat sangat sedih hingga meneteskan air matanya ketika Aslan pergi. Kami melambaikan tangan padanya dan Aslanpun melambaikan tangannya pada kita. Dan ini adalah liburan paling berharga yang pernah aku alami.
                                                         THE END

No comments:

Post a Comment